Sunday, September 21, 2008

Berkhayal Tentang Mimpi

Marleen memandang bintang-bintang itu dari balik jendelanya yang kecil, atau untuk lebih tepatnya adalah sebongkah lubang angin dalam kamar sempitnya.

Bintang itu ada di langit, langit itu hitam, bintang itu bercahaya, tapi kenapa aku tidak? Seburuk itukah? Mungkinkah hati ini sekelam langit dalam kebutaan malam? Bisakah aku kembali melukis langitku dengan bintang-bintang? Melukis hatiku dengan polkadot cinta, melukis hidup dengan kebahagiaan?
Huh... Kemana hilangnya tintaku?
Berharap... asaku akan segera tiba menemui. Hhhh… lelah sekali jiwa dan tubuhku ini.
Tuhan… semoga Engkau selalu dan pasti terus menemani. Tuhan… jangan Kau biarkan aku terjerumus dalam lubang hitam maupun asap kenegatifan.
Aku selalu dan akan berusaha baik dengan siapa, apa, dan dimana. Ruang, waktu, dan seluruh jiwa raga ini entah kemana lagi kan berlabuh. Jangan biarkan aku terjerumus dalam khayalanku sendiri...

Berusaha melepas lelah, Marleen merebahkan diri di atas kasur yang sedari tadi menanti tubuhnya. Sebelum masuk ke alam mimpi, tak lupa dia ucapkan selamat tidur pada sosok Russel Crowe yang tertata tampan di dinding kamarnya. Dia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada tokoh itu saat melihat film A Beautiful Mind, yang menggoyang nalurinya untuk mendalami bidang matematika. Dan tak lupa, dia juga mulai menyukai John F. Nash dan mengagumi Alicia Nash. A Beautiful Mind merupakan sebuah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata seorang matematikawan jenius, John Forbes Nash, yang mengidap penyakit skizofrenia, beserta kehidupannya bersama sang istri, Alicia, hingga akhirnya berhasil mendapatkan sebuah penghargaan bergengsi yakni Nobel Ekonomi pada tahun 1994.

Thursday, September 18, 2008

Menarilah dan terus tertawa... Walau dunia tak seindah surga...

Renungi lirik ini, mungkin dapat membuatmu terinspirasi untuk terus berusaha menggapai mimpimu...
Yang paling membuatku terenyuh adalah pada saat lagu itu mengalunkan lirik..
"menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga"
Dan kata-kata ini membuatku selalu berbahagia dalam menggapai mimpiku sendiri...

Mimpi adalah kunci

untuk kita menaklukkan dunia
telah hilang
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
raih bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya…

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau ini kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia

selamanya

Menggapai Mimpi

Saat tangan-tangan yang tak terlihat itu mulai menyentuh tubuh ini, batin dan jiwaku berlagu...
bernyanyi dengan tenang namun tetap riang.
Alangkah indahnya dapat hidup dengan kehadiran mereka...
Apa yang telah mereka lakukan bukan sekedar mimpi.
Namun, yang kulakukan mungkin masih sekedar bermimpi dan apa salahnya bermimpi?
Karena yang kurasakan bahwa mimpi ini tidak sekedar kosong belaka,
mimpi ini adalah semangatku, mimpi ini adalah citaku, yang takkan hilang hanya karena terbangun dari tidur... (27 Jan '08)

Monday, September 15, 2008

“Coki-Coki” Tinggal di Kandang Sapi

sumber gambar: harvest moon

Kayaknya asyik nich mengenang kembali kisah petualangan kecilku. Ada kisah di desa masa kecilku, Klampok, sebelum aku pindah.
Dulu, ayah adalah pegawai BLK Pertanian. Rumahku, rumah dinas yang berjejer rapi dengan rumah-rumah lainnya. Halamannya luas.. di sekelilingnya dengan berbagai macam aneka jenis tanaman dan pepohonan. Dengan rumah-rumah tetangga dibatasi tanaman “tetean hijau”yang menyerupai pagar, yang tetap indah meski kami para anak kecil seringkali membuat bolong tanaman itu bak pintu rahasia. Halaman belakang rumah-rumah dinas ini dibatasi oleh tembok pagar yang cukup tinggi. Walau demikian, terdapat pintu untuk melintasi tembok itu, ada kebun besar di baliknya. Aku menyebutnya ’kebon belakang’, padahal dibilang kebon doank ya engga, soalnya ada juga sawah, kali, kolam ikan, dll, dan salah satu tempat favorit kami para anak kecil, yaitu ’kandang sapi’. Kami seringkali berkelompok, mengintip kegiatan yang terjadi disana. Dan fokus favorit kami adalah ’Coki-Coki’. Aku tak ingat semenjak kapan kita memanggil atau yang lebih tepatnya menyebut seorang lelaki tua dengan julukan ’coki-coki’.

Coki-coki tinggal di sebuah kandang sapi yang cukup luas. Dia sudah cukup tua dengan rambut putihnya, sering kulihat dia mengenakan kaos putih oblong yang tipis dan celana kolor belel. Aku tidak hapal wajahnya, tapi cerita yang beredar di antara kami bahwa coki-coki itu orang Belanda. Dan entah darimana asal usulnya, atau cuma khayalan kami saja (namanya juga anak-anak) kalau dia itu pensiunan tentara Belanda yang menetap di Indonesia, karena hanya hidup dari pensiunan saja, maka dia tidak punya tempat tinggal, hingga akhirnya tinggal di kandang sapi.
Kalian tahu? Kami para anak, seringkali mencuri barang-barang miliknya, tapi bukan barang yang berharga. Yang kami ambil hanyalah botol-botol kecil bekas minyak angin yang sudah tidak terpakai dan tertumpuk berserakan di sekitar jerami tempat dia tinggal. Kami mengambilnya diam-diam (dasar anak nakal!!) saat coki-coki pergi. Aku masih ingat botolnya, ada tulisan cina dan tutupnya berwarna merah dengan bau khas minyak angin. Saat sang coki-coki datang dari kejauhan, kami langsung berlari dan bersembunyi di balik tembok, mengintip dia masuk kembali ke kandang sapinya yang merapikan barang-barangnya dan beristirahat. Aku sempat kasihan melihat si coki, sepertinya dia amat kesepian. Gosip kami, kalo dia sebenarnya punya anak dan keluarga tapi entah dimana. Kami tak berani mendekati coki-coki meskipun kami sering mengintainya, nggak tahu kenapa, apa karena badannya yang seperti orang bule (menurut kami) ataukah karena takut dengan kegiatannya yang hidup dan bertempat tinggal di kandang sapi.

”HeeMan” si Buta

Dia seorang lelaki buta. Rambutnya keriting. Hm..sebentar, kuingat-ingat dulu.
Oiya, dia suka pake baju putih lusuh dan celana ngatung agak krem (apa putih ya??). Badannya lumayan hitam dan dia berjalan dibantu oleh sebuah tongkat kayu. Di pundaknya selalu ada tas yang dia bawa agak menyamping, tas itu bentuknya menyerupai guling yang diberi ikat tali. Aku nggak tau kenapa banyak anak-anak memanggilnya ’HeeMan’. Karena nggak tau asal mulanya, aku juga ikut manggil dia demikian. Seingatku dia itu nggak punya tempat tinggal tetap, bisa dibilang mirip pengemis karena penampilannya itu. Meskipun aku ikut manggil dia ’HeeMan’ tapi aku paling nggak suka ngeliat anak-anak ngerjain dia dan mengolok-oloknya mentang-mentang dia buta. Biasanya yang suka ngerjain dia itu anak laki-laki. Aku masih inget dulu, waktu sedang istirahat di sekolah, ’HeeMan’ lewat. Beberapa anak lelaki ngerjain dia, ngelempar-lempar batu kerikil. ’HeeMan’ jadi sulit berjalan dengan tongkatnya, dan akhirnya mengamuk setelah mendengar olokan yang ditujukan terhadapnya. Diapun berjongkok secepat kilat dan mengambil apa saja yang ada di tanah, kebetulan sekali ada banyak batu di sana. Diapun melemparkannya sekuat tenaga sambil mengungkapkan amarahnya. Karena buta, dia melempar sesuai kehendaknya, hampir saja aku kena. Aku sempet bilang sama temenku, jangan diejek lagi, kasihan, tapi ya.. dasar anak-anak, tetep aja, malah tambah digodain.
Ada satu lagi kisah merananya dia. Waktu itu, ada sekelompok anak remaja yang cukup terkenal yang disegani anak-anak yang lain, kami biasa menyebutnya ’anak-anak nakal’, karena mereka memang terkenal kenakalannya hingga orang dewasa dan para orang tua. ’Anak-anak nakal’ pernah amat keterlaluan mengerjai ’HeeMan’. Ceritanya begini, si ’anak-anak nakal’ itu pura-pura mengarahkan jalan pada ’HeeMan’ si buta, namun apa yang terjadi? jalannya’HeeMan’ diarahkan menuju selokan yang cukup besar, hingga dia terjatuh dan masuk ke dalamnya, sehingga ’HeeMan’ pun marah-marah. Kurang ajar nggak sich!!! Mungkin inilah yang menyebabkan ’HeeMan’ tak terlalu suka anak-anak, karena anak-anak sering mengerjainya.